Minggu, 01 Januari 2012

MIND MAP ARTIKEL ILMIAH
UMI CHAIRUNNISA


PEMILIHAN BAHASA DAERAH UNTUK ANAK USIA DINI DALAM MENANAMKAN KECINTAAN AKAN INDONESIA
Umi Chairunnisa
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta

1.    Pendahuluan
Menurut Fasold (1984) hal pertama yang terbayang bila kita memikirkan bahasa adalah “bahasa keseluruhan” (whole languanges) dimana kita membayangkan seseorang dalam masyarakat bilingual atau multilingual berbicara dua bahasa atau lebih dan harus memilih yang mana yang harus digunakan. Menggunakan bahasa pertama, kedua atau bahkan ketiga? Namun, dari beberapa pilihan penggunaan bahasa, bahasa yang paling dominan yang akan didapatkan oleh seorang anak adalah bahasa Ibu. Hal ini dikarenakan pemerolehan bahasa pertama tersebut hadir dalam lingkungan yang tanpa sengaja membentuknya.
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman, ternyata seorang anak dari usia dini sudah ditanamkan pendidikan untuk pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing. Hal ini dikarenakan bahasa kedua atau bahasa asing dianggap lebih perlu digunakan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dibanding bahasa Ibu atau bahasa daerah. Selain sangat berguna dalam percakapan internasional dan hubungan kerja pada saat anak-anak itu beranjak dewasa, para orang tua merasa menggunakan bahasa asing juga dianggap prestise. Karena pikiran orang tua itulah, maka anak pun juga ikut berpikir untuk lebih perlu menggunakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa daerah yang notabene sudah didapatkan mereka sejak dini. Padahal bila ditelisik, pemilihan bahasa daerah untuk anak usia dini tanpa disadari dapat menanamkan kecintaan akan Indonesia pada diri si anak.

2.    Pemilihan Bahasa Daerah vs Pemilihan Bahasa Asing
Pemilihan bahasa bahasa asing yang ditanamkan orang tua pada anak-anak mereka sesungguhnya tidak dapat disalahkan. Mengapa demikian? Hal ini karena terdapat tuntutan masyarakat yang menginginkan fasihnya penggunaan bahasa asing. Alasannya adalah sistem hubungan masyarakat modern yang terjadi pada saat anak-anak tersebut beranjak dewasa dan terjun ke dalam dunia kerja. Pada saat seperti itu, mereka diharuskan berhubungan tidak hanya dengan satu suku bangsa melainkan juga dengan bangsa lain.
Bahasa daerah sebenarnya bisa didapatkan dengan mudah oleh si anak sejak ia dini. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh anak dalam memperoleh bahasa daerah seperti meniru, memproduksi, memberikan umpan balik, dan mengoperasikan langsung. Dan cara-cara tersebut dilakukan tanpa disengaja oleh orang tua. Anak-anak mereka secara naluriah mengikuti hal-hal yang dilakukan oleh orang tua atau orang-orang yang berada dekat dengan lingkungan mereka. Bahasa daerah ini secara sadar tidak hanya membentuk karakter si anak melainkan juga membangun sikap terhadap identitasnya sebagai seorang warga negara.
Tidak seperti bahasa daerah, bahasa asing dibentuk karena disengaja. Bahasa asing ditanamkan karena ada manfaat lebih yang akan didapatkan bila anak berhasil menguasainya. Tujuan baik si orang tua dalam pemilihan bahasa asing, sebenarnya membuat anak justru kehilangan jati dirinya. Ketika sang orang tua mengenalkan bahasa asing pada tumbuh kembang sang anak, anak cenderung bingung untuk memilih mana bahasa yang seharusnya ia tiru dan ia gunakan. Tujuan orang tua semula pun membelok. Anak-anak pun pada akhirnya cenderung lebih banyak menggunakan bahasa asing yang notabene bukan bahasa yang menunjukkan identitas dirinya.
Tapi sebenarnya argumentasi tersebut tidak dapat diterima begitu saja. Karena pemilihan bahasa asing untuk anak memberikan manfaat yang dirasa sangat baik untuk masa depan sang anak. Meskipun begitu harus ada sikap dari orang tua untuk tetap terus memilih dan menggunakan bahasa daerah. Hal ini bukan semata-mata tidak ingin kalah dengan bahasa asing, tetapi usaha untuk menanamkan identitas kepada diri anak mengenai tempat kelahirannya.

3.    Perkembangan Zaman dan Budaya
Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa pemilihan bahasa sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan budaya. Perkembangan zaman menuntut seorang anak untuk mampu bersosialisasi tidak hanya dengan masyarakat dari satu suku bangsa yang sama melainkan masyarakat dari suku bangsa lain. Ini adalah suatu paksaan yang memang mengharuskan seorang anak tidak hanya memilih bahasa Ibu melainkan juga bahasa kedua atau bahasa asing. Tak hanya sosial, dalam perkembangan zaman pun tuntutan akan pemilihan bahasa asing sangat menentukan dalam bidang ilmu pengetahuan. Karena itu faktor perkembangan zaman ini sangatlah menentukan.
Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa sebenarnya juga disebabkan oleh berbagai faktor sosial serta budaya. Evin-Tripp (1972) mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penanda pemilihan bahasa penutur dalam interaksi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama sebenarnya dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga. Si anak akan terbiasa memilih bahasa yang cocok dengan kepribadiannya. Disini peran orang tua sangatlah penting, karena si anak akan meniru atau mencontoh sikap dari pemilihan bahasa yang digunakan oleh si orang tua.
Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Tak hanya dengan orang tua, anak juga memiliki sosok lain seperti guru dan teman yang ikut berpengaruh dalam pemilihan bahasanya. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang peristiwa-peristiwa yang dialami oleh anak. Faktor keempat berupa fungsi interaksi seperti kebiasaan rutin yang dilakukan oleh sang anak (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).
Lewat faktor sosial dan budaya itu, pemilihan bahasa menjadi sangat berpengaruh. Misalnya saja dalam mengucapkan salam, bila orang tua selalu mengucapkan “good morning” kepada anaknya setiap pagi, maka sang anak pun meniru orang tuanya dengan mengucapkan hal yang sama pada orang tuanya. Disini dapat terlihat bahwa orang tua menginginkan anaknya untuk memilih bahasa asing dalam kebiasaan rutinnya. Lalu anak pun ikut melakukannya dalam kegiatan sosial di luar rumah. Kebiasaan rutin yang sangat sepele itu saja sudah menanamkan semacam budaya untuk menggunakan bahasa kedua dalam rutinitas sehari-hari. Tak hanya budaya dalam pemilihan bahasa tetapi juga budaya dalam rutinitas sehari-hari. Dengan mengucapkan satu kalimat dengan bahasa asing saja sudah menanamkan semacam budaya bangsa lain kepada diri si anak.
Berbeda dengan Evin-Tripp, Rubin (1982) menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam penelitiannya tentang pemilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay, Rubin menyimpulkan bahwa lokasi interaksi yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum sangat menentukan pemilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara akan memilih bahaa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memilih bahasa Spanyol.
Ini juga yang terjadi di Indonesia. Di daerah seperti Jawa, di desa pembicara akan memilih bahasa Jawa, di sekolah akan memilih bahasa Indonesia dan bahasa asing, sedangkan di tempat umum memilih bahasa Jawa. Dari sejak dini, anak disuguhi dengan kegiatan seperti ini, sehingga pemilihan bahasa ibu sangat kental di daerah Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah Jawa, pengenalan identitas diri kepada anak cukup tinggi. Tepat kiranya seperti yang dijelaskan oleh Rubin, bahwa lokasi tempat berlangsungnya peristiwa tutur sangat mempengaruhi pemilihan bahasa. Bahkan tak hanya pemilihan bahasa, melainkan juga identitas diri dalam pemilihan bahasa.

4.    Pemilihan Bahasa Ibu dan Kecintaan akan Indonesia
Dalam hal memilih bahasa mana yang harus digunakan ada tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan, yaitu, pertama dengan alih kode, artinya, menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain. Kedua dengan melakukan campur kode, artinya, menggunakan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa lain. Ketiga, dengan memilih satu variasi bahasa yang sama. Batas ketiga pilihan ini kadang-kadang dengan mudah dapat ditentukan, tetapi kadang-kadang agak sukar karena batasnya menjadi kabur.
Dari ketiga bahasa tersebut banyak orang tua yang memilih jenis pilihan yang pertama, yakni menggunakan bahasa daerah pada situasi yang memang tidak formal, dan menggunakan bahasa asing pada situasi yang memang benar-benar diperlukan. Hal ini merupakan cara orang tua untuk tidak menghilangkan identitas diri dari anak mereka. Di lain sisi orang tua memang menginginkan anak mereka untuk fasih menggunakan bahasa asing, namun di sisi lainnya, orang tua tersebut juga tidak ingin anak-anak mereka jatuh kehilangan jati dirinya karena terlalu sering menggunakan bahasa asing.
Sikap orang tua tersebut dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan terhadap pemilihan bahasa. Penelitian terhadap pemilihan bahasa sendiri menurut Fasold dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan disiplin ilmu, yaitu berdasarkan pendekatan sosiologi, pendekatan sosial, dan pendekatan antropologi. Secara pendekatan sosiologis, Di Indonesia secara umum digunakan tiga buah bahasa dengan tiga domain sasaran, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa Indonesia digunakan dalam domain keindonesiaan, atau domain yang sifatnya nasional, seperti dalam pembicaraan antarsuku, bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, dan dalam surat-menyurat dinas. Bahasa daerah digunakan dalam domain kedaerahan, seperti dalam upacara pernikahan, percakapan dalam keluarga daerah, dan komunikasi antarpenutur sedaerah. Sedangkan bahasa asing digunakan untuk komunikasi antarbangsa, atau untuk keperluan-keperluan tertentu seperti seminar internasional.
Dari pendekatan sosiologis itulah yang menyebabkan orang tua mengharuskan anaknya tidak hanya fasih menggunakan bahasa daerah tetapi juga bahasa kedua. Karena yang diperlukan tidak hanya bahasa ibu tetapi juga bahasa asing yang memiliki peranan luas. Namun, untuk alasan tersebut tak membuat orang tua harus merasa terbodohi untuk membiarkan anak-anak mereka mengalami kebutaan akan jati diri. Orang tua masih menggunakan bahasa daerah dengan baik dalam rutinitas sehari-hari agar anak biasa mengerti identitas mereka yang sesungguhnya adalah dari pemilihan bahasa daerah yang mereka gunakan.
Dengan menanamkan pemilihan bahasa daerah sejak usia anak masih dini, membuat anak memiliki identitas esensial yang sah. Sejak dini, ia mengenal tentang tempat kelahiran ibunya dan dirinya sendiri. Sejak dini, ia juga mengerti bahasa seperti apa yang ibunya dan dirinya sendiri gunakan. Pemilihan bahasa daerah sendiri pada akhirnya menimbulkan semacam kecintaan akan Indonesia yang tidak mungkin didapatkan bila orang tua sejak dini terus menanamkan pemilihan bahasa asing kepada anak mereka.

5.    Simpulan
Pemilihan bahasa asing yang dilakukan mungkin memang dinilai cukup baik tujuan orang tua merancang masa depan anak mereka. Pemilihan bahasa asing tak hanya menunjukkan semacam prestise sendiri untuk anak mereka bila mereka fasih melafalkannya, tetapi juga memudahkan masa depan kelak dalam menjalankan kehidupan kerja. Hal ini merupakan argumentasi kuat karena pada kenyataannya, pemilihan bahasa asing sangat berpengaruh dalam sukses atau tidak seseorang berhubungan dengan orang yang tak hanya hadir dari satu suku bangsa melainkan suku bangsa lain.
Namun. Ditelisik lebih lanjut pemilihan bahasa asing nyatanya tidak memberikan semacam identitas diri tersendiri kepada anak. Hal ini karena pemilihan bahasa asing tidak memiliki penjelasan yang jelas mengenai latar belakang dari penggunaannya. Diperlukan penggunaan bahasa daerah yang kuat untuk memberikan penekanan identitas yang esensial bagi anak. Oleh karena itu pemilihan bahasa daerah sangatlah penting karena dengan begitu ia akan mengerti jati diri serta dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.

Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta

2 komentar:

anisa lastari mengatakan...

pertama kali membaca judul artikel ini saya tidak menyangka bahwa pembahsannya akan menyangkut kepada pemilihan bahasa asing oleh orang tua untuk diajarkan kepada anak. jadi, saya rasa judul artikel masih belum sepenuhnya mencerminkan maslah yang diangkatnya. selain itu sumber rujukan yang digunakan oleh penulis saya rasa masih kurang lengkap karena berangkat dari tinjauan sosiolinguistik saja. karena bukankah ilmu sosiolinguistik berada di ranah hubungan pemakaian bahasa di atau antar anggota masyarakat? namun pembahasan dalam artikel ini lebih mendalam terhadap pengajaran bahasa dalam lingkup kecil yaitu keluarga

Anonim mengatakan...

Pengembangan tulisan ini sudah sesuai dengan mind map yang telah dibuat. Bahasa yang disajikan penulis pada tulisan ini terasa ringan dan lugas, sehingga tidak terkesan berbelit-belit, sehingga muda untuk dipahami.
Cahyo Baskoro
2115091856