ABSTRAK
INTAN
FITRIYANTI. 2011. Ragam Ngoko dan Krama dalam Situasi Diglosia Informal di
Lamongan, Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Jakarta.
Penelitian
ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang situasi diglosia dan memahami
situasi kebahasaan yang berkaitan dengan situasi diglosia, serta memberi
gambaran terhadap situasi kebahasaan di Lamongan. Penelitian ini dilakukan di
wilayah Lamongan. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis
isi. metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah metode simak.
Kata
kunci : ragam ngoko dan ktama,
situasi diglosia, lamongan.
I.
PENDAHULUAN
Bahasa
jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang memiliki jumlah pemakaian yang
cukup besar, dari sejumlah kurang lebih empat ratus bahasa daerah dan dialek
yang terdapat di Indonesia. salah satu diantara dialek tersebut adalah dialek
bahasa Jawa yang dipakai di kabupaten lamongan yang merupakan sarana dalam
penelitian ini atau yang disebut dengan “dialek bahasa Jawa Lamongan” (DJB-L).
Wilayah Lamongan terletak diantara
daerah daerah perbatasan yang menggunakan dialek atau ragam bahasa yang
berlainan sehubungan dengan penggunaaan ragam tingkatan bahasa dalam bahasa
jawa yang disebut undak-usuk.
Persoalan
yang terkait terhadap penelitian ini, antara lain mengenai adanya situasi
kebahasaaan terhadap penggunaan variasi-variasi bahasa (variasi sosiolek),
distribusi variasi-variasi bahasa ngoko dan krana (ragam T dan ragam R) dalam
ranah informal, potensi penggunaan ragam ngoko dan krama (ragam T dan ragam R)
serta pennggunaan ragam ngoko dan krama (ragam T dan ragam R) dalam situasi
diglosia informal. Situasi kebahasaaan yang mengakui adanya ragam baku yang
sama-sama siakui dan dihormati, dengan demikian terdapat pembakuan bahasa yang
khusus ketika dua ragam bahasa hidup secara berdampingan dalam masyarakat yang
mempunyai fungsi-fungsi tertentu, situasi seperti ini disebut dengan situasi diglosia. Variasi bahasa yang satu
disebut dialek Tinggi (T) dan yang lain disebut dialek rendah (R). Di Jawa
terdapat bahasa ngoko, krama, dan krama inggil. Ketiganya mempunyai ukuran baku
masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya.
Situasi
kebahasaan semacam ini terjadi di wilayah Lamongan. Masyarakat tutur Lamongan
merupakan masyarakat tutur yang disglostik. Masyarakat Lamongan mengenal adanya
variasi bahasa dalam satu bahasa Jawa, yaitu ragam T atau dikenal dengan
istilah krama dan ragam R atu dikenal dengan istilah ngoko. Menurut Ferguson
dalam Chaer, berkaitan dengan diglosia, distribusi fungsional pada umumnya,
dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat situasi di mana hanya
dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan dalam situasi lain hanya dialek R
yang digunakan. Berkaitang dengan adanya penggunaaan tingkatan bahasa dalam
penggunaan ragam ngoko dan krama, berari dialek lamongan masih mengenal adanya
tingkatan bahasa. Hal tersebut menandakan tingkatan sosial masyarakat lamongan
berbeda-beda.
II.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk melihat
situasi kebahasaan tentang penggunaan ragam bahasa ngoko dan krama dalam
situasi diglosia informal di Lamongan. Penelitiana ini menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi. Metode yang
digunakan dalam pengambilan data adalah metode simak, diwujudkan dalam teknik
sadap dan apabila diperlukan peneliti menggunakan teknik simak libat cakap
dengan cara rekam. Penelitian ini difokuskan pada situasi diglosia informal di
Lamongan terhadap penggunaan ragam ngoko dan krama dilihat dari hubungan faktor
sosial antar penutur dalam ranah keluarga dan ketetanggaan. Objek penelitian
ini adalah tuturan ragam ngoko dan ragam krama dalam situasi diglosia informal
di Lamongan yang dipilih secara purposive sampling, yaitu dengan penentuan
sampel mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dibuat terhadap
objek yang sesuai dengan tujuan dari variasi-variasi identitas penutur pada
saat peneliti berada di lapangan hingga situasi terjadi tuturannya.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahasa
jawa memiliki beberapa ragam, yaitu ragam bahasa ngoko, ragam bahasa krama, dan
ragam bahasa krama inggil. Ragam bahasa ngoko adalah ragam bahasa kasar yang
digunakan dalam situasi non formal. Biasanya ragam bahasa ngoko ini digunakan
untuk memarahi atau memaki seseorang yang tidak kita sukai. Ragam bahasa krama
adalah ragam bahasa semi formal. Ragam bahasa ini dapat digunakan untuk
berkomunikasi dengan sesama teman, orang tua, atau saudara sendiri. Ragam
bahasa ini digunakan untuk menciptakan suasana yang lebih akrab dan santai
dalam kalangan keluarga dan kerabat serta sahabat. Ragam bahasa krama inggil
adalah ragam bahasa formal. Ragam ini biasanya digunakan dalam acara-acara
formal, seperti uapacara adat, pidato, atau ceramah dalam masyarakat bahasa
jawa. Ragam ini juga dapat digunakan untuk berbicara kepada orang yang status
sosialnya lebih tinggi, seperti masyarakat yang berbicara kepada kepala desa,
guru dengan kepala sekolah dan sebagainya.
Contoh 1:
®
Percakapan sesama saudara
Ungu : ”Iya, bener. Simbok ya maringi dhewe
kebebasan kanggo ngapa wae. Kuwi berarti simbok percaya karo dhewe.”
Ijo : ”Bener banget. Dhewe iki kan isih enom.
Urip mung sepisan, dadi kudu bener-bener dimanfaatke, aja disia-siakake. Hi…
hi… hi…”
Percakapan
diatas adalah percakapan dengan saudara kandung sendiri. Kedua pembicara
tersebut adalah kakak beradik. Dalam ranah keluarga biasanya para pembicara
akan berbicara dengan bahasa ngoko. Karena hal ini menciptakan suasana akrab
dan santai. Namun, tidak jarang percakapan di ranah keluarga ini menggunakan
bahasa krama atau krama inggil. Hal ini biasanya terjadi antara bapak dan anak,
ibu dan anak, ataupun suami istri. Pemilihan bahasa krama inggil ini disebabkan
karena timbul rasa hormat dan segan terhadap orang tua. Namun, bukan berarti
menggunakan bahasa ngoko dalam ranah kekeluargaan itu tidak hormat dan segan
terhadap orang tua atau suami. Justru ini akan membuat suasana menjadi lebih
akrab dan santai.
Contoh 2:
®
Percakapan ibu dan anak
Andhe-andhe
: “Mbok, pripun? Sampun pinten ingkang ndaftar?”
Mbok Randha: “Aduh Le, simbok ya ora weruh.. Coba takon karo
asisten. Kuwi wis tak bayar laranglarang sejuta setengah mben semester, kudune
weruh.”
Hal yang terjadi pada percakapan di atas adalah contoh pembicaraan
ibu dan anak dengan menggunakan ragam krama. Sang anak berbicara dengan ibunya
menggunakan ragam krama namun sang ibu tetap menggunakan bahasa ngoko untuk
menciptakan suasana lebih akrab dan santai dengan anaknya.
Contoh 3:
®
Percakapan ranah keluarga suami istri dengan krama inggil
Istri
: nah niku larene, nah jenengan tangkleti kiambak, niku tangkleti kiambak niku!
Suami
: to enggeh kersane siram riyen (nah dos disek cong!) monggo bu, sareng bu,
sampeyan beres-beres niku alat seng kangge kerjo benjeng niku.
Contoh
3 adalah contoh percakapan ranah keluarga dengan krama inggil. Percakapan ranah
keluarga dengan krama inggil biasanya terjadi di kalangan keluarga yang
memiliki status sosial lebih tinggi, seperti keluarga guru, atau keluarga
perangkat desa.
Selain
itu, ragam krama dan krama inggil, biasanya digunakan oleh orang-orang yang
berbeda pangkat atau satus sosial. Biasanya ragam ini digunakan dalam sebuah
percakapan masyarakat dengan perangkat desa. Ragam tersebut juga menunjukkan
tingkatan jabatan atau pangkat pembicaranya. Dalam keluarga kerajaan seperti
contohnya di keraton Jogjakarta percakapan menggunakan ragam krama inggil.
Contoh 4:
®
Percakapan sekertaris desa dengan seorang ibu
Ibu
: Bu’e ten pundi? Kok mboten weton?
Sekertaris desa : Ten
wengkeng mbak.
Percakapan
diatar menunjukan rasa hormat terhadap orang yang berbeda statusnya, seperti
pembicaraan seorang perangkat desa dengan seorang ibu di atas. Selain itu,
pemilihan ragam ini juga karena antara ibu dan sekertaris desa tersebut tidak
saling kenal. Jadi untuk menjaga kesopanan maka dipilih penggunaan ragam krama
inggil. Namun, berbeda lagi apabila ibu dan sekertaris desa tersebut sudah
saling kenal dan akrab. Biasanya masyarakat jawa akan menggunakan ragam ngoko.
Contoh 5:
®
Percakapan dalam sebuah instansi
guru
: pak ali, kulo nderek tanglet, menawi jenengan semerap kekeluargaan niku
dospundi pak ali?
kepsek
: saene?
Percakapan
ini terjadi dalam sebuah isntansi pendidikan. berbicara dengan seorang atasan,
biasanya akan dipilih ragam krama atau krama inggil untuk menciptakan suasana
yang lebih formal. Pemilihan ragam ini juga karena rasa hormat dan segan terhadap
atasan.
IV.
Kesimpulan
Bahasa
jawa adalah bahasa yang mempunyai tingkatan bahasa. Tingkatan bahasa dalam
bahasa jawa disebut undak-usuk. Di jawa terdapat bahasa ngoko (tingkatan paling
rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi). Keduanya memiliki
ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya. Berkaitan
dengan adanya tingkatan bahasa dalam penggunaan ragam ngoko dan krama, berarti
masyarakat jawa masih mengenal adanya tingkatan bahasa. Hal tersebut menandakan
masyarakatnya mempunyai latar belakang sosial yang bebeda-beda.
Dalam bahasa
Jawa ditemukan situasi yang berbeda yang di dalamnya terdapat dua ragam baku
yang sama-sama diakui dan dihormati. Hal tersebut biasa disebut sebagai
diglosia. Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus ketika dua ragam
bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan
masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu. Pembahasan
diglosia berkenaan dengan pemakaian ragam bahasa rendah (ditandai dengan R) dan
ragam bahasa tinggi (ditandai dengan T) dalam suatu kelompok masyarakat.
Penggunaan
ragam bahasa dalam masyarakat bahasa Jawa biasanya terjadi seperti berikut:
a.
Ragam ngoko digunakan untuk ranah
keluarga dan teman sebaya agar menciptakan suasana yang akrab dan santai.
Biasanya digunakan untuk keluarga yang berstatus sosial rendah.
b.
Ragam krama digunakan untuk teman
sebaya dan ranah keluarga. Bahasa ini dapat dikatakan lebih halus dari bahasa
ngoko. Biasanya digunakan untuk keluarga yang berstatus sosial lebih tinggi.
c.
Ragam krama inggil digubakan untuk
berbicara dengan orang yang lebih tua, dalam sebuah instansi, dan kepada orang
yang baru kita kenal. Guna menunjukkan rasa horma dan segan serta kesopanan
terhadap orang lain.
2 komentar:
pada jurnal ilmiah yang dibuat oleh NuriFijiastuti, sudah bagus..
mind map dan pengembangan sudah sama dan penjelasan juga djelaskan secara singkat dan jelas.
dilihat dari segi penulisan, sudah tepat,dimulai dari abstrak, pendahuluan yang berisi latar belakag dan tujuan, metode yang digunakan serta hasil dan pembahasan.
Gesa Nurdiyanti
2115091880/3b
(SITI LUTFIAH)
(SITI LUTFIAH)
Dari teknik penulisan: diksi yang dipergunakan sangat baik, koherensi antar paragraf yang begitu baik.
Dari sistematika penulisan: telah bersesuaian deng sistematika penulisan artikel ilmiah pada umumnya.
Posting Komentar