Jumat, 30 Desember 2011

JURNAL ILMIAH -NURI FIJIASTUTI-


ABSTRAK
INTAN FITRIYANTI. 2011. Ragam Ngoko dan Krama dalam Situasi Diglosia Informal di Lamongan, Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang situasi diglosia dan memahami situasi kebahasaan yang berkaitan dengan situasi diglosia, serta memberi gambaran terhadap situasi kebahasaan di Lamongan. Penelitian ini dilakukan di wilayah Lamongan. Penelitian ini dilakukan dengan metode  deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi. metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah metode simak.
Kata kunci       : ragam ngoko dan ktama, situasi diglosia, lamongan.
I.                   PENDAHULUAN
Bahasa jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang memiliki jumlah pemakaian yang cukup besar, dari sejumlah kurang lebih empat ratus bahasa daerah dan dialek yang terdapat di Indonesia. salah satu diantara dialek tersebut adalah dialek bahasa Jawa yang dipakai di kabupaten lamongan yang merupakan sarana dalam penelitian ini atau yang disebut dengan “dialek bahasa Jawa Lamongan” (DJB-L). Wilayah Lamongan  terletak diantara daerah daerah perbatasan yang menggunakan dialek atau ragam bahasa yang berlainan sehubungan dengan penggunaaan ragam tingkatan bahasa dalam bahasa jawa yang disebut undak-usuk.
Persoalan yang terkait terhadap penelitian ini, antara lain mengenai adanya situasi kebahasaaan terhadap penggunaan variasi-variasi bahasa (variasi sosiolek), distribusi variasi-variasi bahasa ngoko dan krana (ragam T dan ragam R) dalam ranah informal, potensi penggunaan ragam ngoko dan krama (ragam T dan ragam R) serta pennggunaan ragam ngoko dan krama (ragam T dan ragam R) dalam situasi diglosia informal. Situasi kebahasaaan yang mengakui adanya ragam baku yang sama-sama siakui dan dihormati, dengan demikian terdapat pembakuan bahasa yang khusus ketika dua ragam bahasa hidup secara berdampingan dalam masyarakat yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu, situasi seperti ini disebut dengan situasi diglosia. Variasi bahasa yang satu disebut dialek Tinggi (T) dan yang lain disebut dialek rendah (R). Di Jawa terdapat bahasa ngoko, krama, dan krama inggil. Ketiganya mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya.
Situasi kebahasaan semacam ini terjadi di wilayah Lamongan. Masyarakat tutur Lamongan merupakan masyarakat tutur yang disglostik. Masyarakat Lamongan mengenal adanya variasi bahasa dalam satu bahasa Jawa, yaitu ragam T atau dikenal dengan istilah krama dan ragam R atu dikenal dengan istilah ngoko. Menurut Ferguson dalam Chaer, berkaitan dengan diglosia, distribusi fungsional pada umumnya, dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat situasi di mana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan dalam situasi lain hanya dialek R yang digunakan. Berkaitang dengan adanya penggunaaan tingkatan bahasa dalam penggunaan ragam ngoko dan krama, berari dialek lamongan masih mengenal adanya tingkatan bahasa. Hal tersebut menandakan tingkatan sosial masyarakat lamongan berbeda-beda.
II.                METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk melihat situasi kebahasaan tentang penggunaan ragam bahasa ngoko dan krama dalam situasi diglosia informal di Lamongan. Penelitiana ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi. Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah metode simak, diwujudkan dalam teknik sadap dan apabila diperlukan peneliti menggunakan teknik simak libat cakap dengan cara rekam. Penelitian ini difokuskan pada situasi diglosia informal di Lamongan terhadap penggunaan ragam ngoko dan krama dilihat dari hubungan faktor sosial antar penutur dalam ranah keluarga dan ketetanggaan. Objek penelitian ini adalah tuturan ragam ngoko dan ragam krama dalam situasi diglosia informal di Lamongan yang dipilih secara purposive sampling, yaitu dengan penentuan sampel mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dibuat terhadap objek yang sesuai dengan tujuan dari variasi-variasi identitas penutur pada saat peneliti berada di lapangan hingga situasi terjadi tuturannya.
III.             HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahasa jawa memiliki beberapa ragam, yaitu ragam bahasa ngoko, ragam bahasa krama, dan ragam bahasa krama inggil. Ragam bahasa ngoko adalah ragam bahasa kasar yang digunakan dalam situasi non formal. Biasanya ragam bahasa ngoko ini digunakan untuk memarahi atau memaki seseorang yang tidak kita sukai. Ragam bahasa krama adalah ragam bahasa semi formal. Ragam bahasa ini dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama teman, orang tua, atau saudara sendiri. Ragam bahasa ini digunakan untuk menciptakan suasana yang lebih akrab dan santai dalam kalangan keluarga dan kerabat serta sahabat. Ragam bahasa krama inggil adalah ragam bahasa formal. Ragam ini biasanya digunakan dalam acara-acara formal, seperti uapacara adat, pidato, atau ceramah dalam masyarakat bahasa jawa. Ragam ini juga dapat digunakan untuk berbicara kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi, seperti masyarakat yang berbicara kepada kepala desa, guru dengan kepala sekolah dan sebagainya.
Contoh 1:
®    Percakapan sesama saudara
Ungu                : ”Iya, bener. Simbok ya maringi dhewe kebebasan kanggo ngapa wae. Kuwi berarti simbok percaya karo dhewe.”
Ijo                    : ”Bener banget. Dhewe iki kan isih enom. Urip mung sepisan, dadi kudu bener-bener dimanfaatke, aja disia-siakake. Hi… hi… hi…”
Percakapan diatas adalah percakapan dengan saudara kandung sendiri. Kedua pembicara tersebut adalah kakak beradik. Dalam ranah keluarga biasanya para pembicara akan berbicara dengan bahasa ngoko. Karena hal ini menciptakan suasana akrab dan santai. Namun, tidak jarang percakapan di ranah keluarga ini menggunakan bahasa krama atau krama inggil. Hal ini biasanya terjadi antara bapak dan anak, ibu dan anak, ataupun suami istri. Pemilihan bahasa krama inggil ini disebabkan karena timbul rasa hormat dan segan terhadap orang tua. Namun, bukan berarti menggunakan bahasa ngoko dalam ranah kekeluargaan itu tidak hormat dan segan terhadap orang tua atau suami. Justru ini akan membuat suasana menjadi lebih akrab dan santai.
Contoh 2:
®    Percakapan ibu dan anak
Andhe-andhe : “Mbok, pripun? Sampun pinten ingkang ndaftar?”
Mbok Randha: “Aduh Le, simbok ya ora weruh.. Coba takon karo asisten. Kuwi wis tak bayar laranglarang sejuta setengah mben semester, kudune weruh.”
Hal yang terjadi pada percakapan di atas adalah contoh pembicaraan ibu dan anak dengan menggunakan ragam krama. Sang anak berbicara dengan ibunya menggunakan ragam krama namun sang ibu tetap menggunakan bahasa ngoko untuk menciptakan suasana lebih akrab dan santai dengan anaknya.
Contoh 3:
®    Percakapan ranah keluarga suami istri dengan krama inggil
Istri : nah niku larene, nah jenengan tangkleti kiambak, niku tangkleti kiambak niku!
Suami : to enggeh kersane siram riyen (nah dos disek cong!) monggo bu, sareng bu, sampeyan beres-beres niku alat seng kangge kerjo benjeng niku.
Contoh 3 adalah contoh percakapan ranah keluarga dengan krama inggil. Percakapan ranah keluarga dengan krama inggil biasanya terjadi di kalangan keluarga yang memiliki status sosial lebih tinggi, seperti keluarga guru, atau keluarga perangkat desa.
Selain itu, ragam krama dan krama inggil, biasanya digunakan oleh orang-orang yang berbeda pangkat atau satus sosial. Biasanya ragam ini digunakan dalam sebuah percakapan masyarakat dengan perangkat desa. Ragam tersebut juga menunjukkan tingkatan jabatan atau pangkat pembicaranya. Dalam keluarga kerajaan seperti contohnya di keraton Jogjakarta percakapan menggunakan ragam krama inggil.
Contoh 4:
®    Percakapan sekertaris desa dengan seorang ibu
Ibu : Bu’e ten pundi? Kok mboten weton?
Sekertaris desa : Ten wengkeng mbak.
Percakapan diatar menunjukan rasa hormat terhadap orang yang berbeda statusnya, seperti pembicaraan seorang perangkat desa dengan seorang ibu di atas. Selain itu, pemilihan ragam ini juga karena antara ibu dan sekertaris desa tersebut tidak saling kenal. Jadi untuk menjaga kesopanan maka dipilih penggunaan ragam krama inggil. Namun, berbeda lagi apabila ibu dan sekertaris desa tersebut sudah saling kenal dan akrab. Biasanya masyarakat jawa akan menggunakan ragam ngoko.
Contoh 5:
®    Percakapan dalam sebuah instansi
guru : pak ali, kulo nderek tanglet, menawi jenengan semerap kekeluargaan niku dospundi pak ali?
kepsek : saene?
Percakapan ini terjadi dalam sebuah isntansi pendidikan. berbicara dengan seorang atasan, biasanya akan dipilih ragam krama atau krama inggil untuk menciptakan suasana yang lebih formal. Pemilihan ragam ini juga karena rasa hormat dan segan terhadap atasan.
IV.             Kesimpulan
Bahasa jawa adalah bahasa yang mempunyai tingkatan bahasa. Tingkatan bahasa dalam bahasa jawa disebut undak-usuk. Di jawa terdapat bahasa ngoko (tingkatan paling rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi). Keduanya memiliki ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya. Berkaitan dengan adanya tingkatan bahasa dalam penggunaan ragam ngoko dan krama, berarti masyarakat jawa masih mengenal adanya tingkatan bahasa. Hal tersebut menandakan masyarakatnya mempunyai latar belakang sosial yang bebeda-beda.
Dalam bahasa Jawa ditemukan situasi yang berbeda yang di dalamnya terdapat dua ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati. Hal tersebut biasa disebut sebagai diglosia. Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus ketika dua ragam bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu. Pembahasan diglosia berkenaan dengan pemakaian ragam bahasa rendah (ditandai dengan R) dan ragam bahasa tinggi (ditandai dengan T) dalam suatu kelompok masyarakat.
Penggunaan ragam bahasa dalam masyarakat bahasa Jawa biasanya terjadi seperti berikut:
a.       Ragam ngoko digunakan untuk ranah keluarga dan teman sebaya agar menciptakan suasana yang akrab dan santai. Biasanya digunakan untuk keluarga yang berstatus sosial rendah.
b.      Ragam krama digunakan untuk teman sebaya dan ranah keluarga. Bahasa ini dapat dikatakan lebih halus dari bahasa ngoko. Biasanya digunakan untuk keluarga yang berstatus sosial lebih tinggi.
c.       Ragam krama inggil digubakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua, dalam sebuah instansi, dan kepada orang yang baru kita kenal. Guna menunjukkan rasa horma dan segan serta kesopanan terhadap orang lain.

2 komentar:

KEBULAN mengatakan...

pada jurnal ilmiah yang dibuat oleh NuriFijiastuti, sudah bagus..
mind map dan pengembangan sudah sama dan penjelasan juga djelaskan secara singkat dan jelas.
dilihat dari segi penulisan, sudah tepat,dimulai dari abstrak, pendahuluan yang berisi latar belakag dan tujuan, metode yang digunakan serta hasil dan pembahasan.

Gesa Nurdiyanti
2115091880/3b

Anonim mengatakan...

(SITI LUTFIAH)

(SITI LUTFIAH)

Dari teknik penulisan: diksi yang dipergunakan sangat baik, koherensi antar paragraf yang begitu baik.

Dari sistematika penulisan: telah bersesuaian deng sistematika penulisan artikel ilmiah pada umumnya.