Jumat, 30 Desember 2011

Artikel Ilmiah - Yunita Lestari



Yunita Lestari
2115091881
3B

Etika Berbahasa dan Budaya Masyarakat Jawa
oleh Yunita Lestari

1. Pendahuluan
            Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi atau interaksi. Dalam berkomunikasi antar manusia diperlukan suatu bahasa yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Seperti diketahui bahwa setiap norma ini berkaitan erat dengan budaya yang ada dalam masyarakat. Pada zaman globalisasi sekarang ini, norma berbahasa mungkin telah terkikis oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, budaya dalam masyarakat haruslah dapat tetap dilestarikan dan dibudayakan seperti halnya dalam etika berbahasa. Etika berbahasa ini erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat[1]. Akan tetapi, jika melihat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini dapat diasumsikan bahwa etika berbahasa mulai diragukan pengunaannya  dalam budaya masyarakat tertentu. Oleh karena itulah, pada tulisan ini akan dibahas mengenai etika berbahasa dan budaya masyarakat yang dikhususkan pada budaya masyarakat Jawa.

2. Etika Berbahasa
            Sebelum membahas mengenai etika berbahasa ada baiknya membicarakan terlebih dahulu mengenai arti dari bahasa itu sendiri. Kridalaksana mengungkapkan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri[2]. Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa salah satu kegunaan dari bahasa adalah sebagai komunikasi.
            Dalam berkomunikasi sangat diperlukan kemampuan dalam berbahasa yang baik. Apabila seseorang tidak mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dapat mengakibatkan renggangnya relasi atau hubungan antar sesama. Hal ini berkaitan pula dengan etika berbahasa. Masinambouw mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia dalam masyarakat, maka berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa[3].
            Etika berbahasa inilah yang menjadi suatu tolok ukur bagaimana cara seseorang dalam berbicara sesuai dengan waktu, tempat, lawan bicara, dan suatu budaya yang terdapat dalam masyarakat. Seseorang dapat dikatakan pandai dalam berbahasa apabila orang tersebut telah menguasai etika berbahasa. Etika berbahasa dapat pula diketahui dengan kualitas suara dan sikap fisik dalam berkomunikasi.

3. Hubungan Bahasa dan Budaya
            Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, dan diwariskan dari generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok[4]. Dengan kata lain budaya diturunkan secara turun-temurun dan merupakan suatu sistem yang terdapat dalam suatu masyarakat tertentu. Budaya dapat berupa bahasa, kegiatan, perilaku suatu kelompok yang bernaung di suatu daerah.
            Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma[5]. Bahasa yang merupakan alat komunikasi dapat berperan secara langsung dalam pembentukan suatu budaya melalui interaksi manusia. Dengan adanya bahasa maka kebudayaan dapat diwujudkan dalam suatu masyarakat karena bahasa selain berfungsi dalam proses komunikasi, bahasa berfungsi sebagai acuan untuk melihat realita sosial yang ada.
            Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, atau dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkup kebudayaan[6]. Jadi, hubungan bahasa dan kebudayaan adalah bahasa dibawah lingkup dari kebudayaan yang berarti memiliki hubungan subordinatif. Kebudayaan merupakan suatu sistem yang mengatur adanya interaksi manusia dalam suatu masyarakat sedangkan kebahasaan merupakan suatu sistem yang mempunyai fungsi sebagai alat dari kelangsungan interaksi manusia tersebut.

4. Budaya Masyarakat Jawa
             Masyarakat Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat[7].
            Kunjaraningrat membagi masyarakat Jawa atas empat tingkat, yaitu (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, dan (4) ndara, sedangkan Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga tingkat, yaitu (1) priyayi, (2) bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, dan (3) petani dan orang kota yang tidak berpendidikan[8]. Dari penggolongan tersebut tampak dengan jelas perbedaaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Dari tingkatan tersebut, masyarakat Jawa menggunakan berbagai variasi dan ragam bahasa tergantung dari tingkatan atau status sosial dari orang tersebut.
            Variasi bahasa tersebut berbeda pula apabila terjadi percakapan antara tingkat sosial yang berbeda. Misalnya ketika wong sudagar berbicara dengan priyayi ataupun ndara akan berbeda pula jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu karma; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko[9]. Hal inilah yang menjadi ciri khas dari budaya pertuturan masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa mengenal adanya perbedaan pertuturan berdasarkan tingkatan atau status sosial dalam masyarakat.
           
5. Etika Berbahasa dan Budaya Masyarakat Jawa
            Etika berbahasa berkaitan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Etika berbahasa menjadi suatu tolok ukur bagaimana cara seseorang dalam berbicara sesuai dengan waktu, tempat, lawan bicara, dan suatu budaya yang terdapat dalam masyarakat. Seseorang dapat dikatakan pandai dalam berbahasa apabila orang tersebut telah menguasai etika berbahasa. Budaya merupakan suatu sistem yang berlaku dalam suatu masyarakat dan mengatur interaksi antar manusia.
            Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam masyarakat Jawa dikenal adanya unggah-ungguh yang artinya bahwa masyarakat Jawa menggunakan pertuturan sesuai dengan tingkatan atau status sosial dalam masyarakat. Pemakaian suatu bahasa dapat mencerminkan budayanya. Etika berbahasa berkaitan erat dengan budaya yang terdapat dalam masyarakat. Masyarakat Jawa masih menggunakan bahasa jawa sesuai dengan budaya yang ada, yakni dengan menggunakan unggah-ungguh. Hal ini berarti, budaya Masyarakat Jawa memiliki suatu etika berbahasa yang berfungsi sebagai suatu pedoman bagi seseorang dalam berbahasa.
            Masyarakat Jawa menggunakan bahasa sesuai dengan waktu, tempat, lawan bicara, dan budaya yang terdapat dalam daerahnya.  Budaya dalam masyarakat Jawa sampai saat ini masih digunakan oleh sebagian besar masyarakatnya. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi belum begitu berpengaruh pada perkembangan bahasa Jawa. Akan tetapi, perkembangan zaman yang selalu dinamis harus tetap diikuti dengan pelestarian bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional negara Republik Indonesia.

6. Kesimpulan           
            Bahasa yang merupakan alat komunikasi dapat berperan secara langsung dalam pembentukan suatu budaya melalui interaksi manusia. Budaya merupakan suatu sistem yang berlaku dalam suatu masyarakat dan mengatur interaksi antar manusia. Etika berbahasa berkaitan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Etika berbahasa menjadi suatu tolok ukur bagaimana cara seseorang dalam berbicara sesuai dengan waktu, tempat, lawan bicara, dan suatu budaya yang terdapat dalam masyarakat. Seseorang dapat dikatakan pandai dalam berbahasa apabila orang tersebut telah menguasai etika berbahasa.     
Masyarakat Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Pemakaian suatu bahasa dapat mencerminkan budayanya. Etika berbahasa berkaitan erat dengan budaya yang terdapat dalam masyarakat. Masyarakat Jawa masih menggunakan bahasa jawa sesuai dengan budaya yang ada, yakni dengan menggunakan unggah-ungguh. Hal ini berarti, budaya masyarakat Jawa memiliki suatu etika berbahasa yang berfungsi sebagai suatu pedoman bagi seseorang dalam berbahasa.  Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi belum begitu berpengaruh pada perkembangan bahasa Jawa. Perkembangan zaman yang selalu dinamis harus tetap diikuti dengan pelestarian bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional negara Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie.2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007.  Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sihabudin, Ahmad. 2011. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: Bumi Aksara


[1] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 172.
[2] Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: PT Rineka Cipta,2007), hlm.32.
[3] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, op. cit, hlm. 172.
[4] Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.19.
[5] Ibid., hlm.28.
[6] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, op. cit, hlm. 165.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa
[8] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, op. cit, hlm. 39.
[9] Ibid.,hlm.39.

2 komentar:

KEBULAN mengatakan...

Komentar oleh: Rawdotul Jannah

Sebelum membaca pengembangan artikel ilmiah yang dibuat oleh Yuyun, saya membaca mind map-nya dulu. Namun, mind map-nya tidak dapat terlihat dengan jelas sehingga tidak dapat membedakan antara mind map dengan pengembannya. Berdasarkan pengembangan yang dibuat oleh Yuyun, saya dapat mengatakan bahwa artikel ilmiah Yuyun sarat akan teori. Dalam hal ini, Yuyun berusaha mengaitkan teori yang ia ungkapkan dengan gagasan yang dimilikinya. Bahasa yang digunakan ialah bahasa baku. Paragraf yang disampaikan sudah saling berhubungan satu sama lain. Penalaran yang digunakan deduktif (umum-khusus), yaitu hal-hal umum dijelaskan terlebih dahulu baru kemudian ditarik kesimpulannya. Sasaran pengembangan sudah berjalan sesuai dengan fungsinya. Pendahuluan untuk menggambarkan masalah yang disampaikan beserta solusi pemecahannya. Isi untuk membahas materi yang ingin disampaikan. Kesimpulan untuk meringkas informasi penting dan menjawab permasalahan yang ada. Secara keseluruahan, tulisan Yuyun sudah baik.

anisa lastari mengatakan...

artikel yang dibuat oleh Yunita menurut saya sudah memenuhi kriteria tulisan yang baik, namun sayangnya ketika Yunita meneyebutkan "Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat", tidak dilampirkan contoh bahasanya, sehingga jurang mendalam pada tahap analisis. namun lebih dari itu, tulisan yang sarat teori ini cukup banyak memberikan referensi bagi pembacanya