RAWDOTUL JANNAH
Bangsa yang baik tercermin dari akhlaknya yang baik. Untuk mempunyai akhlak yang baik, seseorang harus memiliki pedoman yang baik. Pancasila merupakan pedoman atau dasar Negara Indonesia. Oleh karena itu, kita wajib mematuhi dan menaati Pancasila untuk dapat menjadi bangsa yang berakhlak mulia.
Yohanes Krisnawan adalah salah satu bangsa Indonesia yang telah mengabdikan dirinya kepada Negara Indonesia. Ia telah mencurahkan seluruh pikiran dan jiwanya untuk dapat membuat sebuah resensi berjudul Kebangsaan di Mata Seorang Pancasilais dari buku ilmiah berjudul Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia karya Soediman Kartohadiprodjo. Dengan tulisannya tersebut, ia telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada pembacanya sehingga ikut mencerdaskan bangsanya. Dengan begitu, ia telah mengamalkan Pancasila pada sila ketiga, yakni “Persatuan Indonesia”. Ia telah menyatukan bangsa Indonesia untuk tetap berpegang teguh kepada Pancasila dan waspada dalam mempergunakan unsur kebudayaan Barat dalam pembangunan yang kita lakukan sekarang ini.
Dalam artikel tersebut, Yohanes Krisnawan berusaha melatih pembacanya untuk menjadi pembaca yang kritis. Ketika membicarakan latar belakang buku itu, ia tidak menyampaikan tema buku secara tersurat, tetapi menyampaikannya secara tersirat. Namun, ia membantu pembacanya untuk dapat menemukan tema dengan mendeskripsikan isi buku itu. Di sini, dikatakan bahwa Pancasila sebagai isi jiwa bangsa Indonesia memiliki kebenaran pada adanya makna “kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan”. Makna tersebut tidak ditemukan dalam pemikiran Barat yang berpangkal pada individualisme. Melalui ungkapan ini saja, kita sudah dapat mengetahui bahwa buku tersebut berkaitan dengan kehidupan bangsa Indonesia. Kalau berbicara bangsa, berarti buku tersebut tidak lagi berbicara tentang kehidupan manusia perorangan, tetapi berbicara tentang kehidupan manusia dalam lingkup sosialnya. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa tema yang diangkat dalam buku itu adalah masalah sosial, yang dalam hal ini dikaitkan dengan Pancasila sebagai isi jiwa bangsa Indonesia.
Yohanes Krisnawan sudah dengan jelas memaparkan judul buku, penulis buku, badan penerbit buku, kota badan penerbit buku, tahun terbit buku, ketebalan buku, dan nomer ISBN buku. Namun, ia belum memuat format buku. Mungkin karena dirasa kurang penting dan pastinya akan membutuhkan halaman yang tidak sedikit, ia tidak memuat format buku. Di sini, ia memperkenalkan penulis buku, yaitu Soediman Kartohadiprodjo. Hal ini dapat membuat pembaca tertarik untuk memiliki buku tersebut karena penulis buku merupakan pelopor penelitian Filsafat Pancasila, di samping Notonegoro, N. Drijarkara, dan Soekarno. Penulis buku sudah benar-benar mengerti akan Pancasila atas pendidikan dan pengalaman yang telah ia dapatkan. Diberitahukan bahwa Soediman menempuh pendidikan di Openbare Europese Lagere School (ELS), Hogere Burgerschool (HBS) hingga lulus Sekolah Tinggi Hukum atau Rechtshogeschool (RH), dan memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) pada tahun 1936. Setelah itu, ia bekerja sebagai hakim di beberapa kota hingga mengakhiri kariernya sebagai Hakim Tinggi Republik Indonesia pada tahun 1947. Sejak masih di HBS, Soediman muda merupakan aktivis pergerakan nasional melalui organisasi Tri Koro Dharmo, Jong Java, dan Indonesia Muda. Ia menjadi peserta Kongres Pemuda II yang mencetuskan Sumpah Pemuda. Hal ini menjadikan nilai tambah bagi buku tersebut.
Jenis buku yang diresensi oleh Yohanes Krisnawan tidak dijelaskan olehnya. Namun demikian, ia melatih pembaca kembali untuk kritis dalam membaca sebuah tulisan. Dengan mengungkapkan beberapa kutipan yang terdapat dalam buku tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa buku yang diresensi oleh Yohanes Krisnawan ialah buku nonfiksi. Ia memaparkan bahwa isi buku tersebut membahas Pancasila sebagai isi jiwa bangsa Indonesia yang memiliki kebenaran pada adanya makna “kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan”. Permasalahan tersebut membutuhkan sebuah teori untuk dapat memberikan jawaban maupun solusi yang diharapkan. Oleh karena itu, buku tersebut berjenis nonfiksi atau buku ilmiah.
Paragraf-paragraf yang dipaparkan oleh Yohanes Krisnawan sudah berkesinambungan. Mulai dari awal, ia mengemukakan tokoh Soekarno yang menjadi sumber inspirasi bagi Soediman, bahkan telah mengubah paradigma berpikirnya sebagai intelektual yang sejak muda memperoleh pendidikan Barat. Setelah itu, Yohanes mencoba menjelaskan gagasan Bung Karno tentang perlunya bangsa Indonesia melakukan Revolusi Total, kemudian membahas jejak kehidupan penulis buku, pandangan penulis buku, proses penerbitan buku, hingga akhirnya kelebihan dan kelemahan buku.
Bahasa yang digunakan pun sudah menyesuaikan dengan jenis buku tersebut, yaitu bahasa yang bersifat denotatif yang hanya boleh menimbulkan satu penafsiran. Misalnya saja, pemilihan kata “guru besar” pada kalimat “Semangat nasionalismenya terus hidup, baik semasa menjadi hakim, pengacara, jaksa, maupun guru besar.”. Kata “guru besar” memiliki makna denotatif guru yang mengajar di perguruan tinggi. Kata tersebut dipilih Yohanes untuk memberitahukan kepada pembacanya bahwa “guru besar” hanya memiliki satu arti, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Yohanes juga membahas adanya masalah teknik yang terdapat dalam buku yang ia resensikan tersebut. Ia menyatakan bahwa buku Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia tidak didukung dengan penyuntingan yang baik, banyak terjadi kesalahan teknis dalam penulisan, tata letak yang kurang nyaman, serta penyajian daftar isi dan daftar pustaka yang tidak sesuai dengan kaidah. Ia menambahkan bahwa buku akan lebih menarik jika dilengkapi beberapa ilustrasi foto-foto dokumenter. Ia tidak menjelaskan masalah perwajahan (lay out) dan kebersihan buku.
Yohanes tidak membandingkan buku yang ia resensi dengan buku lain, tetapi hanya memberitahukan buku-buku yang menjadi penggerak penulis buku untuk bersikap kritis terhadap kebudayaan Barat, seperti Ostwald Spengler, Pitirim A Sorokin, J Huizinga, Jan Romein, dan Ortega Y Gasset. Dengan buku tersebut, Soediman sadar bahwa kebudayaan Barat telah mengalami masa krisis dan kemerosotan. Hal itu antara lain terbukti dari meletusnya Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua. Dalam hal ini, Yohanes Krisnawan ingin menegaskan bahwa Pancasila sebagai isi jiwa bangsa Indonesia memiliki kebenaran pada adanya makna “kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan”. Makna tersebut tidak ditemukan dalam pemikiran Barat yang berpangkal pada individualisme ungkapnya.
3 komentar:
bila dilihat sistematika penulisan antara tabel dan pengembangannya disimpulkan bahwa resensi Jannah terstruktur dengan sangat baik. antara tabel dan pengembangannya mirip atau persis.
artikel yang dibuat oleh Jannah terdiri dari delapan paragraf, yang setiap paragrafnya memiliki masing-masing fungsi. dilihat dari teori resensi , Gorys Keraf, resensi yang dibuat Jannah memenuhi teori tersebut. hal ini karena terdapat latar belakang, macam atau jenis buku yang jelas dan keunggulan.
dilihat dari segi penalaran, resensi ini memiliki penalaran yang sangat baik. namun, koherensi paragraf yang satu dengan yang lainnya kurang memiliki koherensi, karena seperti yang dikatakan diatas, paragraf masing-masing memiliki fungsi maisng-masing.
secara keseluruhan artikel ini sudah terstrukrtur dengan baik.
komentar di atas ditulis oleh Umi Chairunnisa.
Setelah membaca reproduksi Jannah, saya ingin memberi beberapa tanggapan
Pertama mengenai kerangka/tabel yang Jannah buat. kerangka yang dibuat, menurut saya kurang spesifik. Kolom penilaian terhadap ketiga resensi secara terpisah sehingga saya sangat kesulitan mengoreksi kesesuaian antara kerangka reproduksi dengan pengembangan yang Jannah buat. Jannah hanya memisahkan kolom antara perbedaan dan persamaan dari dari setiap resensi sehingga penjelasan mengenai masing-masing resensi pun jadi kurang terperinci. Sudah begitu, terjadi ketimpangan antara tabel persamaan dan perbedaan tersebut. Jannah jauh lebih banyak memaparkan mengenai persamaannya ketimbang perbedaannya. Hal itu dapat memunculkan kesan bahwa isi dari ketiga resensi kurang lebih sama, padahal dalam konteks ini yang lebih dibutuhkan adalah informasi mengenai perbedaan resensi yang satu dengan yang lain. Hal ini tentu saja bertujuan untuk memudahkan kita dalam mengembangkan kerangka tersebut.
Mengenai pengembangan kerangka, Jannah sudah membuat sebuah reproduksi yang lengkap, dalam artian, Jannah sudah memberi komentarnya secara menyeluruh terhadap resensi yang Jannah pilih untuk dikomentari. Dalam tulisannya, Jannah terkesan sudah sangat menguasai materi.
Namun saya juga melihat beberapa celah dalam tulisan Jannah. Pada paragraf pembuka, Jannah terlihat sangat singkat memberi argumen ketimbang pada paragraf-paragraf selanjutnya meskipun memang topik/persoalan yang diangkat sudah lumayan tergambarkan pada permulaan. Saya pun melihat kekurangsesuaian antara pengembangan dengan kerangka yang Jannah susun, misalnya, pada paragraf kedua; Jannah menjelaskan tentang identitas buku pada tabel, pada pengembangan tidak dijelaskan, dan pada paragraf keenam; Jannah mengemukakan mengenai keunggulan buku dari segi bahasa yang denotatif, namun dalam kerangkanya, Jannah tidak menyebutkan itu. Selain itu, terdapat beberapa pengulangan kalimat. Saya menemuka tiga kali Jannah mengulang kalimat, "kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan," (yang merupakan kutipan langsung dari si pembuat resensi) pada paragraf ketiga, keempat, dan dan paragraf terakhir. Hal ini bagi saya akan membuat tulisan Jannah cenderung monoton. Susunan pengembangan Jannah belum begitu sistematis dengan kerangka yang Jannah buat pada tabel. Namun, hal ini tetap membuat saya puas terhadap pengembangan penulisan tersebut, karena menurut saya komentar Jannah sudah mencakup keseluruhan resensi yang ditulis oleh Yohanes Krisnawan.
Terdapat satu paragraf yang saya lihat ganjil penulisannya yaitu paragraf ketiga. Mungkin sebenarnya Jannah bermaksud membuat paragraf baru yang berawal dari kalimat, "Yohanes Krisnawan sudah dengan jelas memaparkan judul buku, penulis buku, badan penerbit buku, kota badan penerbit buku, tahun terbit buku, ketebalan buku, dan nomer ISBN buku" tetapi Jannah lupa memberi/membuat penulisan Jannah menjorok ke dalam. Jadilah paragraf ketiga pun menjadi paragraf yang pada umumnya tergolong paragraf yang sangaaat panjang, dan (secara khusus) adalah yang paliiing panjang di antara paragraf-paragraf lainnya dalam reproduksi yang Jannah buat.
Satu koreksian lagi mengenai struktur kalimat Jannah yang agaknya masih kurang efektif. Adalah kalimat, "Bahasa yang digunakan pun sudah menyesuaikan dengan jenis buku tersebut..." pada awal paragraf keenam. Kata "menyesuaikan" akan lebih baik jika diganti saja dengan kata "sesuai". Cobalah Jannah bandingkan sendiri perbedaannya setelah diganti. Hhe.
Ketika saya membaca tulisan Jannah, saya dapat dengan mudah memahami makna yang ingin disampaikan Jannah, padahal ketika saya membaca resensi Yohanes sendiri, saya merasa agak kesulitan memahami bacaan tersebut. Melalui reproduksi yang Jannah kembangkan di atas, saya jadi bisa memahami apa yang ingin disampaikan Yohanes melalui resensinya itu.
Saya cukupkan komentar saya sampai di sini. Bila ada ucapan saya yang sekiranya menyinggung perasaan, mohon dimaafkan yaa.
Fify Fildzah Habibah (2115091110)
3-B
Posting Komentar