Komentar Resensi “Dongeng Zaman Pancaroba” oleh Bonnie Triyana dan Arif Zulkifli
FIFY FILDZAH HABIBAH
Remy Sylado, salah satu sastrawan besar di negeri ini, kembali menghasilkan sebuah mahakarya di usianya yang tak kurang dari 65 tahun. Buku fiksinya kali ini ia garap hinga lebih dari 1000 halaman. Hal itu membuktikan bahwa usia tak pernah selalu membatasi daya cipta dan olah kreativitas seseorang. Buku Remy Sylado yang berjudul Hotel Pro Deo ini pun sudah sepantasnya mendapat sambutan dari para penikmat sastra, khususnya bagi pengagum-pengagum karya Remy sendiri. Namun ada satu hal yang mungkin akan menjadi pengganjal langkah Remy dalam memikat khalayak untuk membaca karyanya tersebut: buku yang mirip bantalan tidur, alias terlampau tebal. Dari celah inilah, seorang Bonnie Triyana (sejarawan) dan Arif Zulkifli memanfaatkan wawasan mereka untuk mengulas kisah panjang Remy, menyingkap kehidupan di balik cerita realita-sosial-politik dalam sebuah resensi. Dan dari pandangan-pandangan Bonnie serta Arif tersebut, penulis ingin mengomentari resensi mereka dalam rangka belajar mengungkapkan gagasan dari apa yang sudah dikomentari (reproduksi).
Resensi ini dimulai langsung ke penggambaran isi cerita, atau dapat dikatakan sinopsis cerita. Menurut Gorys Keraf dalam bukunya, Komposisi, deskripsi (penggambaran) mengenai buku itu bukan hanya menyangkut isinya, tetapi juga dapat menyangkut badan mana yang telah menerbitkan buku itu (penerbit), kapan dan di mana diterbitkan, berapa tebalnya (jumlah bab dan halaman) dan kalau perlu formatnya. Di dalam pendahuluan pada resensinya, Bonnie Triyana tidak menyinggung-nyinggung masalah penerbit, tahun cetakan, tempat, maupun mengenai format penulisan buku tersebut. Bonnie Triyana dan Arif Zulkifli hanya mengungkapkan mengenai ketebalan buku nyaris pada bagian akhir resensi, sedangkan nama penerbit dan tahun terbitan mereka tulis pada bagian identitas resensi.
Keraf, masih dalam bukunya mengungkapkan, pokok-pokok yang dapat dijadikan sasaran penilaian sebuah buku atau karya meliputi latar belakang (tema, ikhtisar buku), macam atau jenis buku, serta keunggulan buku (termasuk di dalamnya kelemahan buku), di sinilah sebuah karya atau buku dinilai secara lebih mendalam oleh para pembuat resensi. Penilaian ini didasarkan atas empat sasaran penilaian, antara lain dari segi organisasi (hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain), isi, bahasa, dan teknik (Keraf: 279). Berdasarkan landasan ini, mari kita tilik satu persatu kesesuaian teori tersebut dengan penerapan resensi karya Bonnie Triyana dan Arif Zulkifli (untuk selanjutnya ditulis BT dan AZ) yang berjudul Dongeng Zaman Pancaroba.
Setelah mengemukakan sinopsis, BT dan AZ mengulas masalah plot dan subplot cerita yang mengisahkan bermacam insiden berlatar dunia politik. Tema mengenai kehidupan politik masa peralihan Orde Baru – Reformasi seorang tokoh utama antagonis (Dharsana) dijelaskan secara implisit oleh BT dan AZ. Menurut mereka, buku ini menyuguhkan kompleksitas tak mudah dinyana dari segi cerita yang keseluruhannya dikemas ala Orde Baru secara piawai oleh sang pengarang. Tak hanya itu, menurut BT dan AZ dalam resensinya mengenai sang pengarang, “...ia lolos dari jebakan pretensi—penyakit yang menjangkiti banyak penulis muda. Ia terkadang memberikan ceramah—terutama tentang aspek bahasa yang memang dikuasainya. Tapi ia tak berlagak pintar. Ia juga tidak berpresensi memberikan kejutan yang tak perlu. Remy mengutamakan isi, meski bukan berarti abai pada bentuk,” sehingga dapat dikatakan selain ahli membangun cerita, Remy pun menguasai aspek paling vital dalam seni ini; bahasa.
Permasalahan teknis dalam buku ini yaitu mengenai fisik buku yang ekstratebal. Menyadari hal ini, BT dan AZ menyimpulkan Remy Sylado telah membuat solusinya untuk membimbing pembaca agar tidak tersesat memaknai kompleksitas cerita. BT dan AZ menjabarkan, bab-bab dalam buku ini termasuk singkat, yakni hanya terdiri dari 6-7 halaman pada setiap babnya, dengan Remy menjelaskan konsekuensi sebuah peristiwa pada kelanjutan cerita. Teknik ini menurut BT dan AZ merupakan teknik yang tidak mempunyai efek kejutan. Dengan adanya paparan teknisi ini, diharapkan para pembaca tidak terlalu cepat mengurungkan niat untuk membaca novel bertema berat, berbobot luar biasa tebal, dan berbahasa politik era Orde Baru. Mengenai kesesuaian atau hubungan antara bab yang satu dengan bab lainnya (organisasi) tidak diulas oleh BT dan AZ, sehingga tidak jelas apakah keterbacaan buku ini tinggi atau rendah. Sasaran pembaca buku ini pun tidak dicantumkan oleh mereka dalam resensinya.
Yang menjadi nilai minus dari buku ini menurut BT dan AZ adalah terdapatnya beberapa hal ganjil (ketidaklogisan), diantaranya masalah sebutan “komisaris besar” pada tokoh Dharsana, yang dari itu pengarang dianggap telah membuat anakronisme. Selanjutnya mengenai ketidaksinkronan antara jenis musik dengan zaman di mana musik itu seharusnya diganderungi. Kelemahan terakhir dari buku yaitu terletak pada ketebalan buku yang terkesan dipaksakan tebal sehingga jalan cerita pun secara otomatis terasa dipanjang-panjangkan. Kelemahan terakhir ini merupakan pernyataan dari BT dan AZ yang cenderung subjektif. Mungkin memang benar bahwa buku ini agaknya dipaksakan harus melampaui target di atas 1000 halaman, namun tidak berarti dengan kualitas ceritanya bukan? Pada akhirnya, setiap penikmat buku ini tentulah memiliki simpulannya sendiri mengenai bagian akhir cerita, dan tak mungkin kesemua penikmat itu menganggap buku ini merupakan tragedi perpanjangan cerita yang dipaksakan seperti pada sinetron-sinetron zaman sekarang.
Nilai sebuah buku baru akan lebih jelas bila dibandingkan dengan karya-karya lainnya, baik yang ditulis oleh pengarang itu sendiri, maupun yang ditulis oleh pengarang-pengarang lainnya. Pada resensi ini, Buku Hotel Pro Deo telah disandingkan dengan buku-buku pengarang itu sendiri untuk diperbandingkan meski bukan untuk dipertandingkan. BT dan AZ berpendapat, Hotel Pro Deo memiliki kesamaan yang mengikat kisah dengan dua buku Remy yang lain, Ca Bau Kan (2002) dan Kembang Jepun (2003); sensibilitas dalam kehidupan manusia yang membungkus percintaan, kesedihan, pertarungan, intrik, dan kebencian dalam satu genggaman. Yang jadi pertanyaan besar, mengapa BT dan AZ tidak membandingkan karya besar ini dengan buku dari pengarang besar yang lain, semisal Putu Wijaya, NH Dini, Budi Darma, dll, sehingga kurang mempertegas penilaian BT mengenai kehebohan-kehebohan buku yang sebelumnya telah dikemukakan.
***
Resensi merupakan suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya atau buku. Tujuan resensi adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya itu patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak, (Keraf:274). Berdasarkan teori tersebut, BT dan AZ dapat dikatakan sudah cukup berhasil menulis sebuah resensi buku fiktif, karena mereka telah mengulas keseluruhan buku mulai dari sinopsis, keunggulan, serta kelemahan buku, meski ada juga penilaian mereka yang mengarah ke kubu subjektivitas. Sayang ulasan mengenai alasan mengapa pengarang menulis buku era Orde Baru – Reformasi di masa-masa Demokrasi (mengingat buku ini pertama kali dicetak pada tahun 2010) tidak dipaparkan BT dan AZ.
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2009
KELAS 3-B
3 komentar:
Setelah membaca komentar resensi yang dibuat oleh Fify Fildzah Habibah, saya dapat memberikan tanggapan bahwa komentar yang diberikan Fify sudah baik. Dalam memberikan komentar tersebut, Fify menggunakan sistematika penulisan yang benar, yaitu dengan adanya pendahuluan, isi, dan penutup. Dalam pendahuluan, terdapat tujuan penulisan komentar resensi. Fify mengulas isi komentar resensi dengan gaya bahasa yang menarik, yaitu berusaha mengajak pembacanya berkomukasi melalui tulisannya tersebut dengan adanya beberapa kalimat tanya retorik. Dalam penutup tulisannya tersebut, Fify meringkas kembali hal-hal yang dianggapnya penting.
Paragraf yang dibangun oleh Fify sudah saling berhubungan satu sama lain, yakni membicarakan masalah komentar resensi "Dongeng Zaman Pancaroba" karya Bonnie dan Arif. Fify berusaha menjelaskan isi yang terdapat dalam komentar resensi tersebut dengan jelas, singkat, dan padat.
Namun demikian, ada beberapa kekurangan dalam hal tanda baca pada tulisan tersebut, antara lain pada paragraf pertama kalimat kelima tidak terdapat tanda koma (,) setelah kata "namun" dan pada paragraf pertama kalimat ketujuh terdapat kata "dan" untuk memulai kalimat. Seharusnya, tanda "," setelah kata "namun" diperlukan karena untuk memisahkan konjungsi dengan induk kalimat dan kata "dan" tidak boleh di awal kalimat. Pada paragraf ketiga kalimat pertama, tanda "," seharusnya diletakkan setelah kata "mengungkapkan". Pada paragraf ketiga kalimat ketiga, penulisan kata "per" yang berarti demi, tiap; mulai harus dipisah dengan kata yang merangkainya. Pada paragraf kelima kalimat pertama, tanda "," koma seharusnya dibubuhkan sebelum kata "yaitu". Sekiranya, inilah yang dapat saya sampaikan.
Saya mohon maaf bila ada tanggapan dari saya yang kurang berkenan di hati. Meskipun masih terdapat kesalahan dalam menulis, kita harus tetap bersemangat untuk terus belajar agar lebih baik lagi. Belajarlah dari kesalahan tersebut. Semangat... :-)
Rawdotul Jannah
2115091859
JBSI UNJ
2011
Perbaikan komentar:
Komentar saya terhadap tabel perbandingan tiga resensi yang dibuat oleh Fify sebagai berikut. Sasaran penilaian resensi berdasarkan teori resensi Gorys Keraf, yaitu latar belakang, macam atau jenis buku, dan keunggulan buku yang di dalamnya terdapat pula kelemahan buku. Sementara, Fify hanya mencantumkan organisasi, isi buku, bahasa, dan teknik yang merupakan bagian yang harus dinilai dalam keunggulan buku. Jadi, dalam tabel perencanaan ini Fify hanya mencantumkan keunggulan buku. Tabel perbandingan tiga resensi sebelum membaca teori lebih lengkap daripada tabel perbandingan tiga resensi sesudah membaca teori. Pada tabel pertama, terdapat identitas buku, jenis buku, sistematika resensi, dan perbandingan dengan buku lain. Dalam tabel tersebut, sudah terdapat latar belakang, macam atau jenis buku, dan keunggulan buku. Sementara, pada tabel kedua Fify hanya mencantumkan keunggulan buku. Namun, pada tabel kedua Fify sudah mencantumkan kekurangan buku yang merupakan bagian yang harus dinilai dalam keunggulan buku. Dengan demikian, tabel perbandingan tiga resensi sesudah membaca teori resensi ini kurang lengkap.
Selanjutnya, komentar saya terhadap pengembangan resensi yang dibuat Fify sebagai berikut. Dalam pengembangan resensi, Fify mencantumkan latar belakang. Padahal, pada tabel perbandingan tiga resensi setelah membaca teori resensi tidak ada latar belakangnya. Macam atau jenis buku tidak dijelaskan dalam pengembangan ini. Dalam pengembangan resensi ini, sudah terdapat tulisan mengenai keunggulan dan kekurangan buku hanya saja letaknya tidak sistematis.
Pengembangan kerangka resensi ke dalam paragraf resensi ini tidak sesuai. Fify belum menjelaskan masalah organisasi buku dan bahasa yang digunakan dalam buku itu. Kerangka resensi Fify pada tabel kedua ini tidak lengkap sehingga Fify melengkapinya dengan data yang dimuat dalam tabel pertama.
Paragraf yang satu dengan paragraf berikutnya belum padu. Misalnya, paragraf pertama membicarakan latar belakang buku, paragraf kedua membicarakan teori resensi, dan paragraf ketiga membicarakan latar belakang lagi.
Penalaran dalam paragraf ini berjenis penalaran induktif, yakni dari hal-hal yang bersifat khusus kepada hal-hal yang bersifat umum. Fify mengungkapkan data-data tentang buku terlebih dahulu. Setelah itu, Fify memberikan kesimpulan pada paragraf terakhir.
Diksi atau pilihan kata dalam paragraf ini sudah baik. Pengembangan resensi ini enak dibaca. Fify memilih kata-kata yang mudah dipahami oleh pembacanya. Fify berusaha menggunakan kata-kata dalam bahasa Indonesia ragam baku, bukan kata-kata asing. Fify pandai memilih kata dalam setiap kalimatnya. Misalnya, “Denagn adanya paparan teknis ini, diharapkan para pembaca tidak terlalu cepat mengurungkan niatnya untuk membaca novel bertema berat, berbobot luar biasa, dan berbahasa politik era Orde Baru.”. Kata-kata yang digarisbawahi paralel sehingga kalimat tersebut enak dibaca dan terkesan indah.
Dalam kalimatnya yang lain, masih terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan dalam pemakaian tanda baca, pemakain huruf miring, dan peletakkan konjungsi. Kesalahan dalam pemakaian tanda baca terdapat pada paragraf kedua kalimat pertama. Kesalahan dalam pemakaian huruf miring terdapat pada paragraf pertama kalimat pertama. Kesalahan dalam peletakkan konjungsi terdapat pada paragraf ketiga kalimat keenam.
Oleh: Rawdotul Jannah
Secara sistematika pengembangan paragrafnya sudah sesuai dengan tabel perbandingannya, hanya saja teori resensinya dituliskan pada paragraf akhir. Fify juga hanya menyebutkan satu resensator, padahal seharusnya terdapat dua resensator yaitu Bonnie Triyana dan Arif Zulkifli. Tidak dijelaskan jenis buku yang diresensi, Fify hanya menyebutkan “novel” saja fify juga melakukan perbandingan argumen resensator dengan cerita sinetron-sinetron zaman sekarang.
Raden Firda Siti Humaira
Posting Komentar